Episode 10: Melayang di Angkasa, Kisah Baru di Atmosfer
Setelah sekian lama berada di laut, hari itu aku merasa hangat yang berbeda. Sinar matahari yang menembus permukaan laut menghangatkanku secara perlahan, mengubahku menjadi uap. Seperti ribuan tetesan lainnya, aku mulai naik, meninggalkan laut biru yang telah menjadi rumahku selama beberapa waktu.
“Ayo, ini waktunya kembali ke langit,” seru tetesan-tetesan lain yang juga berubah menjadi uap.
“Aku akan merindukan laut,” kataku sambil melirik gelombang yang perlahan menjauh.
“Tapi kita akan bertemu lagi, seperti biasanya. Siklus ini tak pernah berakhir,” jawab sebuah tetesan dengan penuh keyakinan.
Saat aku naik ke atmosfer, aku bergabung dengan awan yang sudah terbentuk. Kali ini, awan yang aku masuki berbeda. Ia besar dan tebal, berwarna abu-abu gelap, seolah-olah menyimpan rahasia besar di dalamnya.
“Selamat datang,” kata sebuah tetesan di awan itu. “Kami sedang bersiap untuk perjalanan yang luar biasa.”
“Ke mana kita akan pergi?” tanyaku.
“Ke tempat-tempat baru. Kau akan melihat gunung-gunung yang menjulang, lembah-lembah yang indah, bahkan mungkin padang pasir yang gersang. Tapi bersiaplah, karena perjalanan ini akan penuh tantangan.”
Aku merasa bersemangat sekaligus gugup. Menjadi bagian dari awan berarti aku akan menyaksikan dunia dari sudut pandang yang berbeda, tetapi itu juga berarti menghadapi kondisi yang tak terduga.
Ketika awan itu terbawa angin, aku melihat pemandangan yang luar biasa dari atas. Di bawahku, hamparan hutan tropis terlihat seperti permadani hijau, sungai-sungai yang berliku-liku tampak seperti urat nadi yang menghidupkan bumi. Namun, tidak semuanya indah. Aku juga melihat area hutan yang telah gundul, digantikan oleh perkotaan atau lahan kosong yang tandus.
“Mengapa manusia menghancurkan tempat-tempat ini?” tanyaku pada tetesan lain.
“Mungkin mereka lupa,” jawabnya. “Lupa bahwa mereka adalah bagian dari alam, bukan penguasanya. Tapi kau tidak perlu khawatir. Ada juga manusia yang berjuang untuk melindungi lingkungan. Mereka membutuhkan kita, dan kita membutuhkan mereka.”
Kata-katanya memberiku harapan. Meski aku menyaksikan kerusakan, aku percaya bahwa manusia memiliki kemampuan untuk memperbaiki keadaan.
Di tengah perjalanan, angin mulai berubah arah. Awan kami menjadi semakin berat, penuh dengan tetesan air yang siap untuk turun sebagai hujan. Aku merasakan ketegangan di sekelilingku.
“Kita akan segera turun,” kata tetesan di sebelahku.
“Di mana kita akan mendarat?” tanyaku.
“Tidak ada yang tahu. Angin yang akan menentukan.”
Awan mulai menggumpal lebih padat, dan kilatan petir menyambar di kejauhan. Suara gemuruh guntur menggema, membuatku merasa kecil di tengah kekuatan alam yang begitu besar.
“Hujan kali ini akan menjadi berkah untuk tempat yang kekeringan,” kata salah satu tetesan dengan nada optimis.
Aku berharap itu benar. Aku ingin menjadi bagian dari perubahan yang positif, membantu tanah yang kering menjadi subur kembali.
Saat akhirnya aku jatuh sebagai hujan, rasanya seperti kembali ke bumi dengan semangat baru. Aku terhempas ke tanah yang kering dan retak, tempat di mana rumput-rumput cokelat perlahan berubah menjadi hijau setelah tersiram air.
“Tuhan mengirim kalian tepat waktu,” bisik sebuah rumput muda yang baru tumbuh.
“Senang bisa membantu,” jawabku dengan tulus.
Aku menyerap ke dalam tanah, memberikan kehidupan pada tumbuhan yang hampir mati karena kekurangan air. Bersama dengan tetesan lainnya, aku mengalir ke sungai kecil, lalu menuju waduk yang digunakan oleh penduduk sekitar untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.
Di sana, aku melihat seorang anak kecil menimba air dari waduk itu, tersenyum riang karena keluarganya akhirnya memiliki air bersih untuk minum dan memasak.
“Terima kasih, hujan,” kata anak itu dengan lirih.
Kata-katanya membuatku merasa berharga. Aku menyadari bahwa meskipun peranku kecil, dampakku bisa sangat besar bagi mereka yang membutuhkan.
Namun, di sisi lain waduk, aku melihat sampah plastik yang mengapung, mencemari air yang seharusnya menjadi sumber kehidupan.
“Kita masih memiliki banyak pekerjaan,” kata sebuah tetesan yang berada di dekatku.
“Benar,” jawabku. “Tapi kita tidak boleh menyerah. Setiap tetes kita adalah harapan untuk dunia yang lebih baik.”
Aku mulai mengalir lagi, melewati saluran-saluran air yang menuju kota besar. Perjalananku membawa tantangan baru, tetapi aku siap menghadapi semuanya.
Di episode berikutnya, aku akan menceritakan bagaimana aku menjadi bagian dari sistem perkotaan, menghadapi masalah polusi, dan tetap berusaha memberikan kehidupan. Sampai jumpa, dan ingatlah, di setiap perjalanan, ada harapan yang harus terus dijaga.